KUE MANGKOK PRAKTIS

BAHAN:
2 GELAS TEPUNG BERAS
1 GELAS TERIGU
1 GELAS TAPE SINGKONG
½ BUTIR KELAPA
¼ KG GULA MERAH
1 SENDOK TEH VANILLI
½ SENDOK TEH GARAM
1 ¾ GELAS AIR MENDIDIH
1 SENDOK TEH BAKING POWDER
1 GELAS GULA PASIR
ALAT:
WASKOM PLASTIK
KUKUSAN
CETAKAN
CARA KERJA
1. AIR DIREBUS HINGGA MENDIDIH
2. TAPE SINGKONG DIPISAHKAN DENGAN TULANGNYA, KEMUDIAN DILUMATKAN
3. SEMUA BAHAN KECUALI KELAPA DISATUKAN, TAMBAHKAN AIR MENDIDIH ADUK HINGGA RATA
4. SIAPKAN CETAKAN YANG TELAH DIOLESI MINYAK GORENG, MASUKKAN ADONAN LALU DIKUKUS HINGGA MATANG
5. KELAPA DIPARUT DAN DIBERI GARAM UNTUK PELENGKAP KUE MANGKOK

Leave a comment »

KUE MANGKOK BIASA

BAHAN:
3 GELAS TEPUNG BERAS
1 GELAS TAPE SINGKONG
¼ KG GULA AREN
½ BUTIR KELAPA
1 SENDOK TEH VANILLI
½ SENDOK TEH GARAM
1 ¾ GELAS AIR KELAPA
1 GELAS GULA PASIR
ALAT:
WASKOM PLASTIK
KUKUSAN
CETAKAN
CARA KERJA
1. SEMUA BAHAN KECUALI KELAPA DISATUKAN, TAMBAHKAN AIR KELAPA ADUK HINGGA RATA
2. SANTAN KELAPA DIMASUKKAN SETELAH ADONAN DIDIAMKAN SATU MALAM
3. SIAPKAN CETAKAN YANG TELAH DIOLESI MINYAK GORENG, MASUKKAN ADONAN LALU DIKUKUS HINGGA MATANG

Leave a comment »

KUE LAPIS JONGKONG

BAHAN
400 GRAM TEPUNG BERAS
100 GRAM TEPUNG KANJI (TAPIOKA)
250 GRAM GULA PASIR
4 GELAS SANTAN , DIMASAK HINGGA MENDIDIH
½ GELAS MERANG UNTUK JONGKONG WARNA HITAM
½ GELAS AIR PANDAN + SUJI + PEWARNA HIJAU UNTUK JONGKONG WARNA HIJAU
½ SENDOK THE KAPUR SIRIH, GARAM, VANILLA, DAN KELAPA PARUT

ALAT:
1. KUKUSAN
2. CETAKAN
3. WASKOM PLASTIK
4. SARINGAN

CARA KERJA
1. CAMPURKAN TEPUNG BERAS, GARAM, GULA PASIR, SANTAN, KAPUR SIRIH, HINGGA RATA GAN HALUS, KALAU ADONAN KENTAL MAKA DAPAT DITAMBAH SEDIKIT AIR MENDIDIH
2. ADONAN DIBAGI MENJADI DUA BAGIAN, SEBAGIAN DIBERI WARNA HIJAU SEBAGIAN LAIN DIBERI MERANG HINGGA WARNANYA BERUBAH MENJADI HITAM
3. CETAKKAN DIOLESI DENGAN MINYAK DAN DIPANASKAN
4. TUANGKAN ADONAN WARNA HIJAU LALU KUKUS HINGGA MATANG
5. KEMUDIAN TUANGKAN DI ATAS ADONAN WARNA HIJUA YANG TELAH MANANG ADONAN WARNA HITAM LALU KUKUS LAGI HINGGA ADONAN MATANG
6. LAKUKAN LANGKAH 3 DAN 4 HINGGA CETAKAN PENUH
7. SETELAH MASAK KELUARKAN DARI CETAKAN, HIDANGKAN DENGAN KELAPA PARUT

Leave a comment »

RESEP KUE KEMBANG GOYANG

BAHAN :
1 GELAS TEPUNG BERAS
1 BUTIR TELUR AYAM
1 GELAS SANTAN KENTAL
CATT:
UNTUK RASA MANIS DITAMBAH BUMBU:
2 SENDOK GULA PASIR
GARAM SECUKUPNYA
KAYU MANIS
VANILLA
MINYAK GORENG
UNTUK RASA GURIH DITAMBAH BUMBU:
BAWANG MERAH SECUKUPNYA
BAWANG PUTIH SECUKUPNYA
MERICA
KETUMBAR
GARAM
ALAT :
WASKOM PLASTIK
WAJAN
SEROK
SARINGAN
CETAKAN
LANGKAH KERJA
1. GULA + TELUR DIKOCOK HINGGA KEMBANG
2. TAMBAHKAN SANTAN DAN BUMBU SESUAI SELERA LALU DIADUK HINGGA RATA
3. MASUKKAN CETAKKAN KE DALAM MINYAK PANAS (UNTUK HASIL YANG BAIK, SEDAPAT MUNGKIN MINYAKNYA BANYAK)
4. MASUKKAN CETAKAN YANG SUDAK DIPANASKAN KE DALAM ADONAN TAPI TIDAK SAMPAI TERBENAM SELURUH CETAKAN
5. KEMUDIAN MASUKKAN KEMBALI KE DALAM MINYAK PANAS SEMBARI DIGOYANG-GOYANG HINGGA ADONAN LEPAS DARI CETAKAN, GORENG HINGGA KERING

Leave a comment »

Peranan Sastra dan Budaya dalam Pengembangan Bahasa

Makalah ini tanpa abstrak dan daftar pustaka telah terbit di Harian Singgalang minggu 3 Agustus 2008

Abstrak
Makalah ini memaparkan hasil penelurusan dan pengamatan terhadap karya sastra dan beberapa hasil budaya popular yang ditampilkan di stasiun televisi yang menampilkan siaran-siaran yang memuat unsur-unsur sastra dan budaya. Kenyataan yang didapatkan bahwa sebagian besar tontonan yang disuguhkan oleh stasiun televisi itu memberikan berbagai efek terhadap pemirsanya, baik dalam aspek budaya dan berbahasa. Film dan sinetron kadangkala berasal dari sebuah novel atau roman yang menghadirkan konsep “dulce et utile”, indah dan bermanfaat, namun kenyataannya seringkali karya-karya malah meberikan efek yang buruk bagi penontonnya, sehingga terjadi berbagai penyeragaman dalam berbagai hal, misalnya cara berpakaian (baby doll, celana model pensil, rambut model Tow Ming See, dll). Dalam berbahasa pun mulai memperlihatkan keseragaman berbahasa yang hampir kejakarta-jakartaan bahasanya. Selain itu sinetron juga memberikan efek bagi psikologis dan psikis penontonnya. Padahal sastra sebagai sebuah karya memiliki tidak hanya aspek rasionalitas, juga memiliki aspek emosional dan aspek afektif dalam setiap pemakaian bahasanya baik secara lisan maupun lisan. Begitupun budaya sudah semestinya dalam salah satu unsurnya (sistem bahasa), mampu memberikan sumbangan dalam pengembangan bahasa itu sendiri. Untuk itu perlu kiranya dilihat sejauh mana peranan sastra dan budaya dalam pengembangan bahasa, khususnya dalam karya-karya sastra. Sehingga kita dapat gambaran yang jelas peranan dari kedua hal tersebut.
Kata kunci, peranan, sastra, budaya.

Pendahuluan

Bahasa menunjukkkan bangsa, setidaknya itulah tamsil yang seringkali kita dengar. Dari tamsil itu bisa pahami bahwa bangsa yang baik, maju dan berperadaban terlihat dari bagaimana penduduknya berbahasa. Artinya dalam memahami sebuah bahasa tidak hanya aspek rasionalnya saja yang harus diketahui, namun lebih dari itu aspek emosi dan aspek afektif dari sebuah bahasa juga berpengaruh bagi penuturnya. Sebuah pepatah berbunyi “Nan Kuriak iyolah Kundi, Nan Merah Iyolah Sago”, “Nan Baiak Iyolah Budi, Nan Indah Iyolah Basa”. “ yang kurik adalah kendi, yang merah adalah saga, yang baik adalah budi, yang indah adalah basa (bahasa)”. Dalam pepatah ini juga terlihat bahwa budi dan bahasa seseorang menjadi ukuran baik buruknya seseorang. Namun apa yang terjadi saat ini, di tengah pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kita bisa menyaksikan hampir setiap hari di media cetak dan elektronik, tontonan-tontonan yang kesemuannya itu tidak menampilkan bahasa yang baik.
Indonesia pasca 1990 adalah era televisi multi kanal, sebuah era radio bergambar, sebuah era tradisi lisan kedua, tanpa sempat mengalami tradisi baca yang kuat. Era ini ditandai dengan merebaknya teknologi penyimpanan, peniruan serta pengelolaan bertutur. Hal ini menyebabkan spritualitas tradisi lisan pertama kehilangan kemampuan transformasi diri, baik secara formal lewat sistem pendidikan atau pun sistem kehidupan budaya (Nugroho, 2007). Spritualitas yang dimaksud antara lain kemampuan bertutur, kemampuan berbahasa, serta kepekaan yang humanis, sehingga mayoritas tradisi lisan yang dihidupkan oleh bahasa daerah kian mengalami penurunan peran.
Padahal semuanya itu termasuk dalam hasil budaya popular, namun tidak semua hasil budaya popular tersebut menghasilkan perubahan yang banyak terhadap pengembangan bahasa. Barangkali di sinilah perlu dipikir ulang, apakah karya-karya sastra yang lahir dari analisis sosial itu akan menjadi sebuah hal yang berharga untuk pengembangan bahasa?, atau justru sebaliknya akan menghancurkan bahasa. Untuk itulah perlu sebuah kajian tentang dampak sastra dan budaya (sastra hadir dari analisis fenomena masyarakat yang berbudaya) dalam pengembangan bahasa.
Masalah:
Selama ini kita mendengar bahwa sastra dan budaya itu hanyalah sebagai bidang ilmu yang membicarakan soal realita dan masyarakat. Sastra dan budaya sepertinya belum mampu memberikan kontribusi yang nyata dalam pengembangan pembangunan. Padahal kalau dilihat lebih jauh sastra dan budaya cukup memberikan kontribusi dalam pengembangan salah satu aspek pembangunan, aspek itu adalah aspek bahasa, karena bahasa menunjukkan bangsa, setidaknya itulah salah satu tamsil yang paling serinmg kita dengar. Maka dari itu perlu kiranya kita melihat:
1. Apakah contoh peran sastra dalam pengembangan bahasa,
2. Apakah contoh peran budaya dalam pengembangan bahasa,
Tinjauan Pustaka
Darwinsyah (2008) dalam waspada online ketika lomba debat antar mahasiswa yang diadakan oleh UHAMKA (Universitas Muhamadiyah Hamka) Jakarta. Dalam tulisannya disebutkan bahwa dua kelompok yang berlaga waktu itu menyatakan pro dan kontra seputar pembelajaran satra. Kelompok A misalnya menyatakan bahwa peranan sastra untuk pelajar sangat penting karena dapat menumbuhkan rasa nasionalisme sehingga kita dapat menangkis dampak buruk budaya global. Sementara itu kelompok B menyatakan bahwa sastra hanya diperlukan hanya untuk penambah wawasan saja.
Mustakim (2003). Dalam abstrak tulisannya mengenai Peranan Unsur Sosial Budaya dalam Pengajaran BIPA, mengungkapkan, bahwa bahasa sebagai perilaku sosial yang digunakan sebgai sarana komunikasi, melibatkan berbagai berbagai faktor sosial dalam penggunaannya. Faktor itu antara lain; jenis kelamin, hubungan peran, tempat, tujuan, situasi sosial dan sebagainya. Untuk itu para pengajar bahasa tidak boleh hanya mengutakana aspek-aspek kebahasaan tanpa melibatkan aspek sosial. Karena hal itu hanya akan melahirkan siswa yang hanya paham materi dan teori tetapi tidak mampu berkomunikasi atau menggunakan bahasa dalam situasi yang sebenarnya.
Purba (2008) dalam waspada Online, Beliau mengungkapkan bahwa pembejaran sastra dari dulu hingga sekarang selalu menjadi permasalahan. Walaupun permasalahannya bersifat klasik tetapi hangat atau up to date. Lebih jauh Purba menjelaskan bahwa karya sastra mempunyai relevansi dengan maslaha-masalah dunia pendidikan dan pengajaran. Sastra dapat memperhalus jiwa, dan memberikan motivasi kepada masyarakat untuk berpikir dan berbuat demi pengembangan dirinya dan masyarakat serta mendorong mendorong munculnya kepedulian, keterbukaan dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Ruskhan (2007), dalam makalahnya untuk Seminar Pengajaran Bahasa Indonesia Pertemuan asosiasi Jepang-Indonesia di Nanzan Gaken Training Centre, Nagoya Jepang, 10-11 November 2007, mengungkapkan betapa pentingnya pengajaran budaya bagi penutur asing, karena dengan memberikan pengajaran tentang kebudayaan bagi penutur asing diharapkan pelajar mampu menggunkan bahasa yang tepat untu situasi yang tepat sehingga tidak terjadi kesalahan dalam penafsiran dari sebuah kata dalam sebuah kebudayaan.
Zakaria 2007 yang berjudul Budaya Mempengaruhi Bahasa dan Komunikasi dalam Waspada Online, Zakaria membahas tentang perseteruan yang terjadi antara dua Negara yang katanya serumpun (Indonesia dan Malaysia). Zakaria menulis bahwa pemukulan yang dilakukakn oleh kopolisian Negara Malaysia terhadap wasit Donal Luther terjadi karena ketidak saling memahami antara kepolisian Diraja Malaysia dan Donal Luther dalam penggunaan bahasa antara mereka. Sementara itu bahasa dalam komunikasi lisan bisa menciptakan kesalah pahaman atau salah mengerti, salah tanggap, Namun lebih dari itu bahwa bahasa manusia disusun berdasarkan sekumpulan aturan yang disepakati, seperti yang berkaitan dengan bunyi (fonologi), Morfologi (berkaitan dengan bentuk kata), sintaksis, semantik, serta apa yang dinamakan pragmatis (memandang sesuatu menurut kegunaan). Barangkali faktor terakhir inilah yang menyebabkan peristiwa pemukulan itu terjadi.
Metodologi dan Pembahasan
Penulisan makalah ini diawali dengan pengamatan terhadap beberapa stasiun televisi yang menayangkan sinetron-sinetron yang disiarkan secara nasional dan membaca beberapa karya sastra, setelah itu mulai dilihat gejala-gejala yang ditimbulkan dari sinetron tersebut, khusunya gejala kebahasaan. Pengamatan ini dilakukan dengan beberapa tahapan. Tahap awal yang dilakukan adalah pengumpunalan data. Data dikumpulkan dengan cara menonton dan mencari bahan-bahan yang terkait melalui internet dan sumber-sumber bacaan yang terkait dengan masalah yang akan dibahas, Setelah data terkumpul data-data tersebut dianalisis dan dideskripsian contoh-contoh yang terdapat di sinetron dan dalam beberapa karya sastra terkait dengan peran sastra dan budaya dalam pembelajaran bahasa.
1. Peran Sastra dalam Pengembangan Bahasa
Sastra sebagai sebuah karya yang menampilkan realitas yang ada dalam masyarakat menjadi penting artinya dalam pengembangan bahasa, beberapa arti penting sastra dalam pengembangan bahasa antara lain,
a. Menambah wawasan kebahasaan
Karya sastra sebagai sebuah karya kreatif memiliki ketiga aspek penting bahasa, yaitu aspek rasional, karya sastra menampilkan kenyataan masyarakatnya. Apek emosional, karya sastra menampilkan emosi-emosi dalam alur-alur cerita yang ditampilkan oleh pengarangnya, dan aspek afektif, sastra menampilkan tingkah laku tokoh-tokoh yang dibuat oleh pengarangnya.
Secara pasif sastra memberikan pengajaran bahasa melalui membaca karya sastra, pembacaan karya sastra berupa novel dan cerpen akan menambah wawasan kebahasaan seseorang. Selain itu membaca karya sastra juga mampu menambah wawasan kebudayaan. Secara aktif sastra memberikan pengajaran bahasa melalui tindakan atau peragaan. Hal ini dapat kita lihat dalam penampilan drama dan puisi. Pembaca secara tidak langsung belajar artikulasi bunyi yang baik, intonasi yang diikuti dengan penghayatan.
Lebih jauh sastra juga berpengaruh dalam proses penambahan atau masuknya kosakata-kosakata daerah ke kosakata Bahasa Indonesia. Kita bisa lihat bagaimana masuknya kosakata Jawa dan Sunda ke dalam bahasa Indonesia melalui karya sastrawan jawa Linus Suryadi AG dalam karyanya “Pengakuan Pariyem”. Linus dengan sangat latar belakang budaya Jawanya mampu memberikan kata-kata dalam bahasa jawa yang lugas dalam Prosalirisnya ini. Contohnya dalam cuplikan berikut “Ya, Ya Pariyem saya “Iyem” panggilan sehari-harinya, saya bocah gunung, melarat pula, badan dan jiwa harta karun saya penghidupan anugerah Sang Hyang Wisesa Jagad”. Dari contoh tersebut terdapat beberapa kosakata jawa, selain itu budaya juga dapat dilihat bagaimana seorang wanita jawa memandang diri dan hidupnya sebagai harta benda pemberian yang maha kuasa. Selain itu kita juga bisa melihat ini pada karya-karya Ahmad Tohari dalam trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jentera Biang Lala. Dari judul karya-karyanya Ahmad Tohari secara tidak langsung memperlihatkan latar belakang budaya yang mempengaruhinya. Karya sastrawan Sumatra Barat pun ikut memberikan sumbangan dalam peristiwa bertambahnya kosakata itu. Karya-karya AA Navis, Gus TF Sakai dan Haris Efendi Tahar. Peristiwa masuknya kosa kata itu dalam Ilmu bahasa khususnya Sosiolinguistik dianggap sebagai interfensi bahasa.
b. Menambah perbendaharaan kosakata,
Pada karya-karya di atas mempelihatkan bagaimana kosakata-kosakata daerah masuk dalam ranah bahasa Indonesia. Namun ada juga karya sastra mampu menambah perbendaharaan kosakata bahasa Indonesia dengan kosakata asing, masuknya kosakata asing tersebut dapat kita lihat dalam Tetra Logi Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata. Andrea dengan ilmu yang dimilikinya mampu menampilkan kepada pembaca kata-kata latin yang sama sekali baru bagi khallayak pembaca sastra khususnya di Indonesia. Banyak sekali istilah-istilah latin dan istilah budaya, yang digunakannya sehingga mampu menambah perbendaharaan kosakata pembacanya. Artinya secara tidak langsung dengan membaca karya tersebut para pembaca telah mendapatkan berbagai istilah latin untuk berbagai kosa kata yang dalam bahasa ibu mereka tidak ada atau memiliki padanan.
Contoh: Pada Buku I Laskar Pelangi kita menemui kata-kata
1. Dul Muluk: Sandiwara rang melayu, dipentaskan sepertu ketoprak tapi pakemnya berbabak-babak.
2. Filicium (Filicium decipien; fern tree) pohon kere/ kerai/ paying atau Ki Sabun, disebut Ki Sabun karena seluruh bagian tubuh pohon itu mengandung saponin atau zat kimia yang menjadi salah satu bahan untuk membuat sabun.
3. Antudiluvium: Masa sebelum diluvium (zaman Pleistosen).
4. Thistle Crescent (Venessa cardui; painted lady; thistle butterfly): jenis kupu-kupu yang paling luas penyebarannya dan hampir bisa ditemui di seluruh dunia.
5. Cassiopeia: Konstelasi bintang berbentuk seperti huru W dibelahan bumi utara, berada didekat Polaris
6. Manekken pis (patung bocah yang sedang pipis) aikon pariwisata belgiayang dipahat Jerome duquesnoy tahun1619
7. Juliette Balcony, sebuah tempat di Verona yang pernah menjadi rumah kosnya William Shakeepeare ketika menuliskan adegan Romeo memanjat kamar dengan gordijn yang dijulurkan Juliette.
Dll.
2. Peranan Budaya
Budaya juga memiliki peranan dalam pengembangan bahasa, misalnya pada masyarakat Minangkabu. Dalam berbahasa mereka memiliki istilah kato nan ampek, istilah ini mengacu kepada penggunaan bahasa dan kepada siapa bahasa itu mestinya dituturkan. Kato nan ampek itu adalah: kato manurun (kata menurun), kato mandata (kato mendatar), Kato mandaki (kata mendaki), dan kato malereng (kata melereng). Kesemua kato (kata) itu haruslah tepat dalam penggunaannya. Kato manurun misalnya, biasa digunakan oleh orang-orang yang lebih besar usianya kepada orang yang lebih kecil. Kato mandata biasa dituturkan kepada orang-orang sebaya, kato mandaki biasa dituturkan kepada orang-orang yang lebih tua, sedangkan kato malereng (kata melereng) atau biasa juga kato bakieh (kata berkias) biasa diucapkan kepada ipar, menantu dan ninik mamak. Contoh lain dalam penggunaan kata sapaan dalam budaya minangkabau kita mengenal jenis kata sapaan untuk kerabat. Misalanya untuk kerabat laki-laki ibu, orang Minang menggunakan kata mamak dan untuk saudara laki-laki ayah menngunakan sapaan apak, Kata mamak dan apak memiliki arti lebih dibandingkan dengan kata om, namun dalam kenyataannnya orang-orang minang lebih banyak menggunakan kata om (paman) dalam menyebut saudara Ibu dan Bapaknya.
Pada suku bangsa Jawa pun dikenal dua tingkatan bahasa, yaitu bahasa jawa Ngoko, Kromo Jadi bagaimana mungkin dalam pembelajaran bahasa kita tidak memberikan pembelajaran sastra dan budaya, karena sertiap pengajar tidak menginginkan para pelajarnya menjadi orang-orang yang hanya mampu menguasai materi dan teori namun juga mampu menguasai aspek sosial budaya yang terkandung di dalamnya.

Kesimpulan
Dari paparan di atas dapat kita lihat bagaimana sinetron yang berasal dari sebuah proses kreatif memberikan berbagai aspek terhadap penikmatnya, efek itu juga terjadi pada proses kebahasaannya. Efek kebahasaan yang hadir lewat sinetron-sinetron tersebut cenderung kea rah negative, artinya bahasa yang hadir cenderung seragam atau kejakarta-jakartaan, Namun Sastra yang juga berasal dari sebuah proses kratif terhadap fenomena-fenomena budaya juga memberikan sebuah peran dalam pengembangan bahasa, sastra yang ditampilkan mampu memberikan pengaruh terhadap wawasan kebahasaan dan kebudayaan. Lebih dari itu sastra juga mampu memberikan sumbangan kosakata-kosakata daerah dan kosakata latin dalam perbendaharaan bahasa Indonesia.
Daftar Pustaka
Bahren, 2004. Basa-Basi dalam Masyarakat Bahasa Minangkabau di Pariaman Selatan (Tinjauan Sosiopragmatik). Skripsi pada Fakultas Sastra Universitas Andalas. Padang.
Hirata, Andrea. 2007. Laskar Pelangi. Yokyakarta. Bentang.
Hirata, Andrea. 2007. Sang Pemimpi. Yokyakarta. Bentang.
Hirata, Andrea. 2008. Edensor. Yokyakarta. Bentang.
Mustakim. 2003. “Peranan Unsur Sosial Budaya dalam Pengajara BIPA” Pusat Bahasa Jakarta
Nugroho, Garin. 2007. “Pokok-Pokok Pikiran dalam Dialog Budaya dalam Rangka Lustrum V Fakultas Sastra Universitas Andalas. Padang
Purba, Darwinsyah Mhd. 2008. Peranan Sastra Dalam Dunia Pendidikan dan Masyarakat. Waspada Online
Purba, Darwinsyah Mhd. 2008.Peranan Sastra Terhadap Pelajar. Pentingkah?. Waspada Online
Risman, Denni. 2007. Sinetron; Pembunuh yang berada di Tengah Ruang Keluarga. Seminar Sehari Dampak Sinetron bagi generasi muda. KPID Sumatra Barat. Padang
Ruskhan, Abdul Gaffar. 2007. “Pemanfaatan Keberagaman Budaya Indonesia dalam Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing (BIPA). Makalah Seminar Pengajaran Bahasa Indonesia Pertemuan asosiasi Jepang-Indonesia di Nanzan gaken Training Centre, Nagoya Jepang, 10-11 November 2007
Zakaria Kosky. 2007. Budaya Mempengaruhi Bahasa dan Komunikasi. Waspada Online
Yusuf. M. 2007. Sinetron Indonesia Bebas, Merdeka, dan Keterlaluan…..nya. Seminar Sehari Dampak Sinetron bagi generasi muda. KPID Sumatra Barat. Padang

Leave a comment »

OSPEK DALAM SASTRA

(Kajian Terhadap Novel Sitti Nurbaya)

O l e h : Muchlis Awwali dan Bahren
Sudah menjadi suatu tradisi di dunia akademik kita, bahwa sebelum mahasiswa baru mulai melangkahkan kaki mengikuti perkuliahan, maka mereka harus menjalani suatu kegiatan, yakni ospek (Orientasi Studi Pengenalan Kampus). Kegiatan ini sudah berlangsung sejak tahun katumba kata orang-orang tua kita. Namun, namanya saja yang bertukar dari kata pelanco diperhalus menjadi kata ospek, karena kegiatan perpeloncoan ini sempat menelan korban dan praktiknya dianggap kurang manusiawi, seperti kegiatan perpeloncoan di STPDN yang pernah ditayangkan media elekronik beberapa waktu lalu.
Bagi para senior kegiatan ospek merupakan acara yang mereka tunggu-tunggu. Mengapa tidak, dalam ospek semua tindakan senior harus dibenarkan. Posisi senior saat itu adalah subjek, sedangkan mahasiswa baru diibaratkan sebagai objek penderita menurut istilah orang-orang linguistik, yang siap menderita selama kegiatan ospek berlangsung. Tidak sampai di situ, mahasiswa baru kan tetap menanggung beban mental meskipun kegiatan ospek telah berakhir.
Secara historis sistem perpeloncoan sudah muncul pada sekolah-sekolah tinggi masa colonial Belanda. Untuk mengetahuinya salah satu sumber yang dapat dijadikan dokumen adalah karya sastra, seperti novel Sitti Nurbaya. Melalui tokoh Samsubahri, pengarang (Marah Rusli) memaparkan bagaimana praktik perpeloncoan yang dialaminya di Sekolah Kedokteran Jawa pada masa kolonial.
Barangkali engkau belum tahu, hampir pada tiap-tiap sekolah tinggi ada suatu adat, yang dinamakan dalam bahasa Belanda ‘ontgroening’, yaitu perpeloncoan. Bila itu dipandang sebagai permainan saja, tiadalah mengapa; akan tetapi terkadang-kadang kasar dilakukan, sehingga boleh mendatangkan kecelakaan pada murid-murid yang dipermainkan itu. Permainan yang kasar itu tidak baik diteruskan. Misalnya aku dengar pada sebuah sekolah menengah, ada permainan yang dinamakan ‘melalui selat Gibraltar’. Engkau masih ingat dalam ilmu bumi, selat Gibraltar itu, ialah suatu selat yang sempit, antara ujung tanah Spanyol dan benua Afrika. Demikianlah yang diperbuat oleh murid-murid kelas tinggi suatu selat yang sempit, yang dijadikan oleh kira-kira dua puluh murid yang tua-tua, yang berleret dalam dua baris. Sekalian murid baru, haruslah berjalan seorang-orang melalui selat ini dan tiap-tiap murid kelas tinggi yang berdiri itu meninju dan menyepak murid-murid baru ini, sehingga ia bertolak dari kanan ke kiri dan dari kiri ke kanan sampai ke luar dari selat siksaan itu. Kemudian murid baru itu diangkat bersama-sama, lalu dicemplungkan ke dalam suatu kolam. Apakah faedahnya permainan yang kasar serupa ini? Istimewanya pula sebab ia dapat mendatangkan bahaya. Murid-murid itu jadi bermusuhan-musuhan dan berdendam-dendaman (Rusli, 1990: 104-105).

Berdasarkan kutipan di atas, maka kegiatan perpeloncoan adalah produknya sekolah-sekolah tingginya kolonial Belanda. Hal ini ada benarnya, mengingat salah satu wacana kolonial Belanda yang sering diterapkan pada etnis-etnis di Indonesia pada masa itu adalah adalah sikap saling bermusuhan antar sesama pribumi. Dengan terjadi permusuhan, maka Belanda akan mudah menjalankan politik devide et imperanya (mengadu domba). Sebagai seorang intelektual yang muncul pada masa penjajahan Belanda, maka lewat karyanya ia sudah mengingatkan dengan perkataan ‘apa faedahnya permainan kasar serupa ini’, karena kegiatan perpeloncoan dapat memecah rasa persatuan antar sesama murid (red mahasiswa), seperti kutipan di bawah ini.
Misalnya seorang anak Sunda yang kurang suka kepada anak Jawa atau anak yang telah mendapat siksaan dari anak orang Jawa, tatkala ia mula-mula masuk, menaruh dendam dalam hatinya dan berniat hendak melepas dendamnya kelak kepada anak Jawa. Dengan demikian persahabatan antara kedua suku bangsa ini, yang diharapkan diperoleh karena percampuran dalam sekolah, boleh menjadi kurang dan akhirnya menjadi putus (Rusli, 1990: 105).
Sekiranya kegiatan ini dikaji dengan menggunakan teori konflik, maka para senior diibaratkan sebagai buffer (penyangga) antara pimpinan dan mahasiswa baru dalam pengertian sempit. Artinya jika terjadi persoalan antara pimpinan dengan mahasiswa baru, maka mereka akan berhadapan dulu dengan buffernya pimpinan. Sebaliknya jika terjadi persoalan anatara pimpinan dan senior, maka sang buffer akan minta bantuan dari bawah untuk menguatkan posisinya
Oleh karena itu, sebagai kegiatan yang mengandung bias kolonial, mengapa kita tidak mencari sistem perpeloncoan yang sesuai dengan adat ke-Timuran. Apalagi kita sebagai umat yang beragama (Islam), yang mengajarkan sikap saling bersatu. Pertanyaannya adalah apakah kita masih tetap bertahan pada tradisi yang sudah dilarang agama, yaitu saling menyakiti; kalau iya, kita termasuk golongan musyrik, sedangkan sifat musyrik adalah perbuatan yang betul-betul dilarang Allah. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Bagarah 170 ‘Dan apabila dikatakan pada mereka; Turutlah apa yang diturunkan Allah. Mereka menjawab; Tidak ! kami hanya menurut apa yang kami dapati dari bapa-bapa kami. Biarpun mereka sedikitpun tidak mengerti dan tidak pula menurut pimpinan yang benar’. Ayat ini mengharuskan manusia untuk meninggalkan tradisi yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Tegasnya mengapa kita harus mempertahan tradisi yang lebih banyak unsur mudaratnya daripada manfaatnya.
Selamat datang mahasiswa baru, semoga ilmu yang diperoleh dapat menambah kedekatan kita pada ALLAH. Amin.

Jurusan Sastra Minangkabau
Fak. Sastra Unand

Leave a comment »

Dari Satu Titik ke Titik Lain (Menelusuri Skriptorium Minangkabau)

Oleh: Bahren, S.S*
Malam itu, kami telah berkumpul di rumah Bapak Drs. M. Yusuf, M. Hum. (Ketua Kelompok Kajian Poetika) Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang. Kelompok ini merupakan salah satu kelompok studi yang menggeluti bidang penelitian filologi. Filologi merupakan salah satu bidang ilmu yang mengkhususkan arah penelitiannya ke bidang pernaskahan (manuskrip). Manuskrip terdiri dari dua kata yaitu manu yang berarti tangan dan skrip berarti tulisan. Jadi manuskrip merupakan kajian terhadap naskah-naskah tulisan tangan khususnya di wilayah Sumatera Barat.
Malam itu juga, kami merencanakan untuk mengunjungi satu titik penelitian yang sejak lama kami duga menjadi sebuah skriptorium (tempat penyimpana dan penulisan) naskah. Namun kami belum mendapatkan bukti-bukti yang otentik sebelumnya. Tapi kepergian kami esok harinya merupakan kepergian dengan bekal informasik yang cukup akurat dari salah seorang informan yang juga mahasiswa Fakultas Sastra.
Dari data yang kami terima dari Lili Miwirdi, S.S. di daerah Pesisir Selatan tepatnya di Desa Tanjung Limau Sundai Kecamatan Batang Kapas. Ada beberapa buah naskah kuno yang telah ditemukannya. Untuk kepastian data itu kami pun menanyakan beberapa pertanyaan untuk memastikan apakh sebuah daerah merupakan skriptorium.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan merupakan pertanyaan berantai yang memungkinkan ditarik sebuah kesimpulan awal. Pertanyaan-pertanyaan itu merupakan pertanyaan untuk melihat kecendrungan setiap skriptorium yang ada di wilayah Sumatera Barat. Di antara pertanyaan yang kami lontarkan adalah: apakah Manuskrip (naskah kuno) itu terletak di sebuah Surau (masjid), kalau jawabannya benar, maka pertanyaan selanjutnya adalah apakah surau itu memiliki kulah (bak air) tempat mencuci kaki setelah berwudlu. Jika jawabannya masih benar adanya, maka pertanyaan selanjutnya adalah apakah surau itu terdapat dekat dengan sebuah sungai. Apabila jawabannya masih benar, makadilanjutkan lah pertanyaannya ke arah yang lebih khusus yaitu apakah surau itu memiliki seorang guru / syeh yang pernah mengajarkan agama di sana. Hal ini dapat dibuktika dengan adanya Kobah (komplek permakaman) guru-guru/ syeh yang pernah ada disana. Dari pertanyaan demi pertanyaan yang kami ajukan, pada umumnya semua pertanyan dimiliki oleh surau yang akan kami tuju. Maka dengan sebuah kesepakatan atas informasi itu kamk menuju lokasi penelitian keesokan harinya.
Pagi pun tiba, masih sangat dingin waktu itu. Kami (tim) peneliti Kelompok Kajian Poetika meninggalkan rumah Bapak M. Yusuf munuju titik penelitian. Tepatnya di Desa Tanjung Limau Sundai Kecamatan Batang Kapas Kabupaten Pesisir Selatan. Jalan berliku di sepanjang sisi bukit barisan dan haparan pantai yang indah menghantar kami ke Kabupaten Pesisir Slatan. Kami pun melewati pantai Cerocok nan indah dan pantai Salido yang putih.
Lebih kuang tiga jam kami dalam perjalanan, kami punsampai di titik penelitian. Sesampai kami di sana kami pun ke rumah Bapak walinagari sebagai pemebritahuan awal tentang kedatangan kami kewilayahnya. Bapak Walinagari menyambut baik kedatangan tim dan sangat berharap agar kami dapat menemukan apa-apa yang kami cari.
Dipandu Lili Miwirdi (informan) sekaligus anggota tim peneliti, kami menuju lokasi penelitian yang berjarak lebih kurang 6 KM dari kantor walinagari kami juga didampingi oleh Ibu Hidayatun Nufus sebagai salah seorang ahli waris. Sesampai di lokasi, kami pun melakukan observasi awal, dengan memastikan jawaban demi jawaban dari pertanyaan yang kami ajukan malam sebelum keberangkatan. Dari observasi tersebut hampir semua jawaban yang kami inginkan syarat sebuah skriptorium terpenuhi.
Dibantu juru kunci surau kami pun menaiki surau tua itu. Layaknya surau yang sudah tua dimakan usia memang telah banyak bagian-bagian surau itu yang keropos dimakan rayap. Observasi pun kami lanjutkan. Kali ini observasi kami lakukan lebih kepada tempat-tempat biasanya manuskrip (naskah-naskah kuno) di simpan. Setidaknya ada beberapa tempat yang kami lihat. Tempat-tempat ini antara lain Mihrab (bagian depan ) surau tempat imam berdiri waktu sholat, biasanya di sana terdapat rak-rak tempat guru-guru kitab-kitab yang mereka ajarkan kepada murid-muridnya. Bila tidak terdapat dibagian mihrab biasanya ddisimpan dalam sebuah peti khusus yang letaknya dekat mihrab.
Tempat lain yang menjadi lokasi penyimpanan manuskrip adalah bagian loteng dari surau-sutau yang ada. Penyimpanan di loteng-loteng ini biasanya dilakukan agar manuskrip yang ada tidak mudah dicuri orang. Ada juga dibeberapa tempat penelitian yang lain menggunakan loteng tempat penyimpanannya bertujuan untuk membuat sebuah kesepakatan tidak tertulis dari anggota, kalau ingin atau hendak menurunkan naskah dari loteng mesti mangganti atap surau terlebih dahulu.
Namun di surau Tanjung Limau Sundai yang kami dapati, naskah-naskah itu ditemukan dalam tumpukan-tumpukan kitab-kitab cetakan Persia dan Istambul yang telah bercerai berai dan diikat menjadi tiga bagian besar yang terdapat di mihrab. Sehingga kami memutuskan untuk memeriksa ketiga bagian itu.
Alhasil, di antara rasa percaya dan tidak, apa yang kami cari satu persatu kami temukan. Setidaknya ada lebih kurang 18 manuskrip kami temukan dengan berbagai fariasi dan jenis. Di antara manuskrip yang kami temukan sebagian besar berupa Alquran, Kitab Fiqih, Kitab Tata Bahasa (Nahu Syaraf), Kitab Tafsir, Kitab Tarikh Islam (sejarah Islam), dan Kitab Tarikh Nabi (sejarah nabi). Kesemua kitab itu rata-rata berumur 200 s.d 300 tahun. Umur dari kitab-kitab itu kami ketahui dari jenis kertas yang digunakan. Kertas-kertas yang digunakan untuk menulis kitab itu pada umumnya kertas-kertas produksi eropa sekitar abat ke17. hal ini ditandai dengan Watermark (cap air) dan Kontramark yang terdapat di setiap lembaran kertas yang ada.
Hingga malam kami dilokasi penelitian. Di desa Tanjung Limau Sundai kenagarian IV kota Batang Kapeh. Rasa lelah pun terasa, namun rasa itu seakan terobati dengan penemuan yang dapatkan. Desa Tanjung merupakan salah satu skriptorium naskah-naskah Islam yang terbesar yang pernah kami temukan di Pesisir Selatan, selain Lunang dengan Koleksi naskah Mande Rubiah dan Indropuro dengan Koleksi naskah sisilah raja Indropuro sepanjang 5,1 M. Konon dari pertemuan Masyarakat Pernaskahan Nusantara (MANASSA) di Jakarta, naskah ini merupakan manuskrip terpanjang yang ada di Indonesia. Maka sudah selayaknya pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan Memberikan perhatian lebih untuk daerah-daerah ini. Karena daerah ini sangat memungkinkan untuk dijadikan sebagai salah satu alternatif pariwisata andalan di Pesisir Selatan dengan wisata alam dan pantainya. Barangkali ini bisa digarap menjadi sebuah wisata lain yaitu wisata religius.

Leave a comment »

Pantun “Sumbangan besar Bangsa Melayu dalam dunia Sastra” Sari diskusi singgkat dengan Muhammad Haji Saleh

Bahren

Serimbun iko parak
Indak bakayu agak sebuah
Saelok iko awak
Indak bapantun agak sebuah

Itulah sebuah pantun yang sering kali di ucapkan oleh Ibu Adreiyetti Amirs. S.U. Dekan Fakultas Sastra Universitas Andalas, dalam pengantar diskusi beliau beranggan bahwa kiasan dalam masyarakat Minangkabau merupakan pengayaan dari pantun yang ada. Dan pantun itu pulalah kiranya menjadi pengatar diskusi singkat dengan Prof. Muhammad Haji Saleh pada hari Jum’at 23 Juni 2006 di ruang seminar Fakultas Sastra.
Sebelum acara dimulai panitia memutar hasil rekaman perjalanan sang Profesor di beberapa daerah Sumatera Barat dan Jambi dalam menelusuri pantun. Beliua takjub dengan keadaan dilapangan yang ditemui. Salah satunya di daerah Kerinci Propinsi Jambi yang beliau dapatkan masih hidupnya tradisi berpantun ini dalam masyarakat. Mereka menyebutnya dengan Batale nasehat-nasehat dalam bentuk lagu dan biasanya dibawakan ketika ada anggota keluarga yang naik haji dan pesta. Batale ini dibawakan oleh kaum ibu. Jenis kegiatan lain yang menggunakan pantun ini adalah Saluko adat semacam acara pasambahan adat, perkawinan yang di bawakan oleh pemuka-pemuka masyarakat.
Muhammad Haji Saleh dalam pengatar buku Puitika Melayunya telah melakukan sebuah percobaan menyeluruh untuk melihat konsep dan prinsip dasar yang menjadi landasan pemikiran dan penciptaan Sastera Melayu. Bermula dengan takrif kata-kata dasar, Muhammad hai saleh mencoba memmasuki daerah konsep teks, genre, dan pengarang. Hal inilah yang menjadi awal dari diskusi yang di pandu oleh Condra Antoni.
Pada bagian awal diskusi Prof. Haji Saleh memaparkan bagaimana sebuah pantun dapat berkembang dan dikenal di berbagai belahan bumi ini. Walaupun dengan penamaan dan sebutan yang berbeda di antara satu wilayah dan wilayah lain. Ada yang menyebut pantun ini dengan poet dan ada juga yang menyebutnya dengan poot.
Dalam penyebarannya pantun setidaknya dikembangkan dan di sebarkan oleh beberapa orang atau kelompok. Kelompok yang paling memiliki pengaruh besar dalam pengembangan pantun ini adalah kelompok pedagang (para saudagar). Beliau beranggapan kelompok inilah yang menjadi pionir dalam pengembangan dan penyebaran pantun. Hal ini terlihat dari banyaknya pantun-pantun yang sama dari beberapa daerah. Sebagai contoh beliau menyebutkan sebuah pantun tentang ‘pulau pandang’. Pantun ini terdapat bukan hanya di Padang (Sumatera Barat), tapi pantun serupa terdapat di dareah Malaysia, Riau, dan Sulawesi Selatan, Lombok, Bima. Bahkan untuk Malaysia mereka juga mengenal pulau pandan.
Kelompok atau orang kedua yang menyebarkan pantun ini adalah para guru. Beliau memilih berpantun dalam menyampaikan pelajaran demi pelajarn yang akan diajarkan karena pantun tersusun dari kata-kata yang berima sehingga enak untuk di dengar dan cerna. Sehingga pesan-pesan yang akan disampaikan lebih cepat diterima oleh para murid.
Kelompok ketiga yang menjadi penyebar budaya berpantun ini adalah kelompok agama atau orang-orang tarikat. Orang-orang inilah yang memungkinkan adanya jenis pantun agama atau pantun yang bersifat nasehat yang mengarah ke religius. Dalam pada itu kelompok tarikat ini pun dalam pengembangan agama memilih pantun sebagai salah satu media penyampainya didasari atas pergolakan dalam bidang sosial dan politik. Hal ini terlihat jelas di Sumatera Barat ketika pergolakan PRRI berlangsung kaum agama dilawan dan disingkirkan. Maka dengna cara berpantunlah mereka menyebarkan ajaran-ajaran tarekat yang mereka terima sebelumnya.
Selanjutnya Prof. Muhammad Haji Saleh memaparkan bagaimana sebuah pantun itu lahir. Hal yang paling mendasar yang menyebabkan lahirnya pantun adalah alam. Banyak sekali fenomena-fenomena alam yang menyebabkan lahirnya pantun. Seperti gunung, bunga, laut, pantai, sungai dan lainnya.
Yang tak kalah menarik adalah warna-warna yang masih di lahirkan oleh alam, seperti merah, kuning, hijau dan lain sebagainya. Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah suasana hati penggubah pantun. Seperti sedih, senang, gembira, suka cita dan banyak lagi yang lain.
Dalam diskusi yang berjalan hampir tiga jam ini, banyak sekali pertanyaan yang bermunculan tentang pantun ini. Antara lain kalau benar pantun ini merupakan sumbangan besar bangsa melayu dalam dunia sastra, mengapa kita masih memakai teori-teori barat untuk membahas pantun. Hal ini bermula dari budaya lisan bangsa melayu sehingga dalam penyampaiannya pun bangsa melayu tidak bisa berbuat banyak. Namun dalam perkembangannya kita mulai melihat ada sebuah keinginan dari bangsa melayu untuk kembali ke akar, kembali kebudaya. Salah satunya Prof. Muhamamd Haji Saleh yang telah melanglang buana mencari silsilah pantun dan merunut kembali akar budaya itu. Siapa berikutnya

Leave a comment »

OSPEK DALAM SASTRA

(Kajian Terhadap Novel Sitti Nurbaya)

O l e h : Muchlis Awwali dan Bahren
Sudah menjadi suatu tradisi di dunia akademik kita, bahwa sebelum mahasiswa baru mulai melangkahkan kaki mengikuti perkuliahan, maka mereka harus menjalani suatu kegiatan, yakni ospek (Orientasi Studi Pengenalan Kampus). Kegiatan ini sudah berlangsung sejak tahun katumba kata orang-orang tua kita. Namun, namanya saja yang bertukar dari kata pelanco diperhalus menjadi kata ospek, karena kegiatan perpeloncoan ini sempat menelan korban dan praktiknya dianggap kurang manusiawi, seperti kegiatan perpeloncoan di STPDN yang pernah ditayangkan media elekronik beberapa waktu lalu.
Bagi para senior kegiatan ospek merupakan acara yang mereka tunggu-tunggu. Mengapa tidak, dalam ospek semua tindakan senior harus dibenarkan. Posisi senior saat itu adalah subjek, sedangkan mahasiswa baru diibaratkan sebagai objek penderita menurut istilah orang-orang linguistik, yang siap menderita selama kegiatan ospek berlangsung. Tidak sampai di situ, mahasiswa baru kan tetap menanggung beban mental meskipun kegiatan ospek telah berakhir.
Secara historis sistem perpeloncoan sudah muncul pada sekolah-sekolah tinggi masa colonial Belanda. Untuk mengetahuinya salah satu sumber yang dapat dijadikan dokumen adalah karya sastra, seperti novel Sitti Nurbaya. Melalui tokoh Samsubahri, pengarang (Marah Rusli) memaparkan bagaimana praktik perpeloncoan yang dialaminya di Sekolah Kedokteran Jawa pada masa kolonial.
Barangkali engkau belum tahu, hampir pada tiap-tiap sekolah tinggi ada suatu adat, yang dinamakan dalam bahasa Belanda ‘ontgroening’, yaitu perpeloncoan. Bila itu dipandang sebagai permainan saja, tiadalah mengapa; akan tetapi terkadang-kadang kasar dilakukan, sehingga boleh mendatangkan kecelakaan pada murid-murid yang dipermainkan itu. Permainan yang kasar itu tidak baik diteruskan. Misalnya aku dengar pada sebuah sekolah menengah, ada permainan yang dinamakan ‘melalui selat Gibraltar’. Engkau masih ingat dalam ilmu bumi, selat Gibraltar itu, ialah suatu selat yang sempit, antara ujung tanah Spanyol dan benua Afrika. Demikianlah yang diperbuat oleh murid-murid kelas tinggi suatu selat yang sempit, yang dijadikan oleh kira-kira dua puluh murid yang tua-tua, yang berleret dalam dua baris. Sekalian murid baru, haruslah berjalan seorang-orang melalui selat ini dan tiap-tiap murid kelas tinggi yang berdiri itu meninju dan menyepak murid-murid baru ini, sehingga ia bertolak dari kanan ke kiri dan dari kiri ke kanan sampai ke luar dari selat siksaan itu. Kemudian murid baru itu diangkat bersama-sama, lalu dicemplungkan ke dalam suatu kolam. Apakah faedahnya permainan yang kasar serupa ini? Istimewanya pula sebab ia dapat mendatangkan bahaya. Murid-murid itu jadi bermusuhan-musuhan dan berdendam-dendaman (Rusli, 1990: 104-105).

Berdasarkan kutipan di atas, maka kegiatan perpeloncoan adalah produknya sekolah-sekolah tingginya kolonial Belanda. Hal ini ada benarnya, mengingat salah satu wacana kolonial Belanda yang sering diterapkan pada etnis-etnis di Indonesia pada masa itu adalah adalah sikap saling bermusuhan antar sesama pribumi. Dengan terjadi permusuhan, maka Belanda akan mudah menjalankan politik devide et imperanya (mengadu domba). Sebagai seorang intelektual yang muncul pada masa penjajahan Belanda, maka lewat karyanya ia sudah mengingatkan dengan perkataan ‘apa faedahnya permainan kasar serupa ini’, karena kegiatan perpeloncoan dapat memecah rasa persatuan antar sesama murid (red mahasiswa), seperti kutipan di bawah ini.
Misalnya seorang anak Sunda yang kurang suka kepada anak Jawa atau anak yang telah mendapat siksaan dari anak orang Jawa, tatkala ia mula-mula masuk, menaruh dendam dalam hatinya dan berniat hendak melepas dendamnya kelak kepada anak Jawa. Dengan demikian persahabatan antara kedua suku bangsa ini, yang diharapkan diperoleh karena percampuran dalam sekolah, boleh menjadi kurang dan akhirnya menjadi putus (Rusli, 1990: 105).
Sekiranya kegiatan ini dikaji dengan menggunakan teori konflik, maka para senior diibaratkan sebagai buffer (penyangga) antara pimpinan dan mahasiswa baru dalam pengertian sempit. Artinya jika terjadi persoalan antara pimpinan dengan mahasiswa baru, maka mereka akan berhadapan dulu dengan buffernya pimpinan. Sebaliknya jika terjadi persoalan anatara pimpinan dan senior, maka sang buffer akan minta bantuan dari bawah untuk menguatkan posisinya
Oleh karena itu, sebagai kegiatan yang mengandung bias kolonial, mengapa kita tidak mencari sistem perpeloncoan yang sesuai dengan adat ke-Timuran. Apalagi kita sebagai umat yang beragama (Islam), yang mengajarkan sikap saling bersatu. Pertanyaannya adalah apakah kita masih tetap bertahan pada tradisi yang sudah dilarang agama, yaitu saling menyakiti; kalau iya, kita termasuk golongan musyrik, sedangkan sifat musyrik adalah perbuatan yang betul-betul dilarang Allah. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Bagarah 170 ‘Dan apabila dikatakan pada mereka; Turutlah apa yang diturunkan Allah. Mereka menjawab; Tidak ! kami hanya menurut apa yang kami dapati dari bapa-bapa kami. Biarpun mereka sedikitpun tidak mengerti dan tidak pula menurut pimpinan yang benar’. Ayat ini mengharuskan manusia untuk meninggalkan tradisi yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Tegasnya mengapa kita harus mempertahan tradisi yang lebih banyak unsur mudaratnya daripada manfaatnya.
Selamat datang mahasiswa baru, semoga ilmu yang diperoleh dapat menambah kedekatan kita pada ALLAH. Amin.

Jurusan Sastra Minangkabau
Fak. Sastra Unand

Comments (1) »

FESTIVAL SALUANG DENDANG
SEBUAH UPAYA PELESTARIAN SENI TRADISI
Bahren
Nan singgalang tadanga runtuah
Urang babaliak hinggo jalan
Sinan hati mangkonyo rusuah
Sadang basayang uda bajalan
Sutan saidi rang singgalang
Mahampa padi di halaman
Putuih tali dapek di ulang
Nan bedo urak jo janjian

Demikianlah himbauan Singgalang sebagai himbauan pembuka dalam setiap kegiatan Saluang Dendang. Hal serupa juga terdengar selepas acara pembukaan Festival Saluang Se-Sumatera Barat yang digelar oleh Laboratorium Minangkabau. Hari itu Selasa, 27 Juni 2006. Sebuah acara besar diadakan di Fakultas Sastra Univesritas Andalas. Acara yang menjadi iven lima tahunan Laboratorium Minangkabau. Saluang Dendang, begitulah panitia acara menyebutnya.
Acara yang diawali dengan pengantar dari Ketua Panitia Bapak Khanizar S.Sn. M. Si.. Dalam Sambutannya Pak Can (begitu panggilan akrabnya) mengemukakan bahwa Minangkabau merupakan salah satu etnik yang ada di Indonesia, yang memiliki berbagai jenis tradisi. Kesenian-kesenian tersebut tersebar merata pada seluruh teritorial Minangkabau yang dikenal sebagai Luhak, Rantau dan Pasisia. Tiap-tiap jenis kesenian memiliki bentuk, fungsi dan perangkat yang berbeda pada unit-unit yang lain misalnya adalah Saluang Dendang.
Saluang Dendang merupakan penyajian kesenian dendang yang diiringi dengan permainan suatu instrumen, yakni saluang. Dan dendang merupakan istilah untuk menyebutkan penyajian musik vokal yang diiringi musik yang melodis. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa kesistensi dari kehidupan Saluang Dendang cenderung menunjukkan kemunduran. Hal itu sebagian disebabkan karena proses regenerasi yang berjalan tidak efektif.
Salah satu hal yang dianggap perlu dilakukan adalah dengan menggelar iven yang bernilai seni dan kompetitif. Festival inilah yang dinilai pantas dalam menyikapi kemunduran Saluang Dendang. Kegiatan ini bermaksud agar kesenian tradisi Saluang Dendang tidak ketinggalan dalam berinovasi dan melanjutkan regenerasi, sehingga manjadi lebih menarik, dan pada akhirnya minat para generasi muda tertarik untuk menggeluti kesenian tradisi tersebut (Saluang Dendang). Iven ini juga merupakan salah satu bentuk dari rangkaian acara yang dilakukan Universitas Andalas dalam rangka Lustrum ke X. Berikutnya acara dilanjutkan dengan sambutan dari Dr. Badrul Mustafa Kemal Pembantu Rektor III Universitas Andalas dan dilanjutkan dengan pembukaan secara resmi oleh Bapak Ir. Indra Catri (asisten II) walikota padang ini berlangsung selama satu hari. Acara ini diikuti oleh 10 tim Saluang Dendang yang berasal dari berbagai daerah di Sumatera Barat. Namu festifal kali ini didominasi oleh tim-tim yang dari Padang, dan juara umum pada festival saluang tahun 2001 dari kota Payakumbuh.
Dalam sambutannya Indra Catri melihat keberadaan seni tradisional khususnya Saluang Dendang makin terpinggirkan, dengan adanya inovasi-inovasi lain yang muncul dari perkembangan teknologi yang mengarah kepada yang bersifat instan. Hal ini terlihat dari munculnya kreasi-kresi dari saluang ini seperti saluang dangdut, saluang regae, dan saluang remik. Sehingga saluuang dendang ini menjadi seperti tabu (maki ke ujung makin hambar. Selain dari itu, Indra Catri pun menyambut baik usaha dari panitia festival yang telah membuat iven seperti ini. Harapannya iven-iven seperti ini perlu diperbanyak dan dimasyarakatkan agar seni tradisi kita (minangkabau) tidak hilang begitu saja.
Tapat pada pukul lima hari itu acara pun ditutup dengan pengumuman siapa saja yang telah menjadi pemuncak dalam kegiatan festifal saluang kali ini. Dewan juri yang diwakili oleh Bapak Musra Dahrizal Katik Jo mangkuto menyebutkan nama-nama para pemenang. Adapun yang mendaji pemenang pada festifal kali ini adalah grup Minang Sakato darai Rindang Alam Limau Manih Padang sebagai juara harapan I, Ema Nepo Grup dari Indarung sebagai harapan juara III, Talang Parindu dari Simpang Piai sebagai juara II, dan juara bertahan Gurindam Talang Sarueh dari Payakumbuh sebagai juara satu dan kembali memenangkan tropi bergilir dari gubernur Sumatera Barat.
Tentu saja harapan dari asisten II walikota Padang tersebut tidak dapat dilakukan tanpa ada dorongan dan keinginan dari seluruh masyarakat kita ( orang Minang). Semua itu akan tetap seperti tabu kalau kita sendiri tidak berusaha manjadikannya seperti coklat. Terserah dari mana kita akan memakannya, yang namanya coklat akan tetap enak, manis dan nikmat untuk dirasa. Labiratorium Minangkabau telah memulainya. Kapan lembaga-lembaga yang lain akan menyusul untuk jenis festival yang lain.

Comments (2) »